Sabtu, 15 Oktober 2011 pukul 10:50:00
Awani Irewati
Peneliti masalah perbatasan
di P2P-LIPI
Tajuk “Pencaplokan wilayah di Tanjung Datu Kalimantan Barat oleh Malaysia” menjadi headline di beberapa media akhir-akhir ini. Dipicu oleh temuan anggota DPR, TB Hasanuddin, perihal pergeseran patok perbatasan di kampung Camar Bulan, Desa Tanjung Da tu, Kalimantan Barat, menjadi tamparan keras. Ada tiga hal po kok yang bisa menjelaskan isu per batasan ini, yaitu warisan sejarah kolonial, legalitas, dan politis.
Pertama, semua masalah perbatasan negara Indonesia merupakan peninggalan Belanda dan ini mengandung makna uti possidetis menurut hukum internasional. Artinya, wilayah teritorial dan lainnya adalah milik negara bersangkutan sesuai dengan hukum internasional.
Perjanjian perbatasan 1891, 1915, dan 1918 antara Belanda dan Inggris atas Kalimantan-Malaysia, hanya mencantumkan penentuan batas pemisah wilayah mengikuti perbatasan alam (watershed) seperti garis pegunungan tertinggi, punggung pegunungan, aliran sungai, dan hutan. Pencantuman garis-garis batas lurus, apa lagi penentuan titik dasar (basepoint) untuk penarikan garis dasar antara Kalimantan dan Sarawak secara detail, saat itu belum disebutkan.
Dan, karena status Indonesia maupun Malaysia hanya sebagai ‘objek’ kepemilikan di bawah kekuasaan kolonial Belanda dan Inggris, otomatis mereka ini hanya dipandang sebagai “benda mati” yang bisa ditukar, dija minkan, bahkan diserahkan ke pihak lawan. Sampai pada pe nan datanganan MoU 1975 (di Kinabalu) dan MoU 1978 (di Semarang) antara Indonesia dan Malaysia, menjadikan wilayah Tan jung Datu ma suk ke dalam wilayah Malaysia. Tiada penjelasan mendasar mengapa Indonesia saat itu tidak melakukan protes.
Kedua, aspek legalitas di mana kedua pihak yang bermasalah sama-sama meratifikasi UNCLOS 1982 dan tunduk pada hukum internasional. UNCLOS sangat jelas, bagi pihak yang sudah meratifikasinya harus memahami dan tunduk pada aturan yang di tetapkan.
Sementara, hukum kebiasaan (customary law), yang juga menjadi salah satu sumber hukum internasional mengaitkan kepe milikan wilayah yang cukup banyak diikuti oleh negara melalui pendudukan (occupation), penetapan (prescription), penambahan (accretion), penyerahan (cession), dan penaklukan (conquest) (Syamsumar, 2010: 246). Namun, hukum ini pun kini tidak lagi diakui mengingat cara-cara kekerasan/pe rang yang ditempuh dalam memperoleh wilayah baru tidak sesuai dengan Piagam PBB.
Sekalipun isu pemindahan batas wilayah perbatasan oleh pihak Malaysia di kampung Camar Bulan, Desa Tanjung Datu di Kabupaten Sambas, Kalbar, dianggap (oleh kita) sebagai bentuk pendudukan (occupation), rasanya ini ku rang tepat. Maksud pendudukan di sini lebih bermakna pada suatu wilayah yang diduduki di mana sebelumnya tidak ada pihak lain yang memiliki. Fakta nya, apa yang dilakukan Malaysia itu bukan “pendudukan” atas wilayah Kalbar yang tidak berpenghuni. Ini lebih didorong oleh keinginan untuk menambah Malaysia saja. Dan, tindakan ini jelas melawan hukum.
Ketiga, aspek politis biasanya terkait erat dengan pendekatan keamanan yang terkesan sentralis tik. Mengapa Malaysia bisa melakukan pergeseran patok sehingga mengurangi wilayah perbatasan Indonesia ini adalah terkait erat dengan masalah keamanan di sekitar perbatasan itu.
Pendekatan ekonomi dan sosial di perbatasan, pada akhir nya pun tidak lepas dari ke butuhan atas keamanan. Yakni, keamanan perbatasan atas wila yah yang masih dalam status ber masalah. Apalagi, dalam peta Malaysia yang dibuat sepihak tercantum Tanjung Datu sebagai taman nasional (Tanjung Datu Na tional Park).
Langkah yang ditempuh Ada beberapa pendekatan yang sudah dilakukan terhadap wilayah perbatasan di Kalbar ini. Pertama, penyusunan tata ruang kawasan pertahanan (yang dibuat beberapa tahun silam) di perbatasan NKRI—Malaysia di Kalimantan yang dipersiapkan oleh Departemen Pertahanan (saat ini Kemenhan) mencakup di lini I (luar dan dalam) dan lini II. Untuk pembangunan kawasan di lini I luar ditempatkan di ka wasan hutan lindung, lengkap dengan pendirian pos-pos TNI dan lintas batas dengan jarak tertentu di sepanjang perbatasan. Di lini I dalam diletakkan pospos Polri dekat ibu kota kecamatan atau tempat permukiman.
Di lini II sudah direncanakan pendirian pos-pos Polri berdekat an dengan permukiman/ibu kota kabupaten. Kawasan lini I dalam dan lini II dibangun di atas ka wasan budi daya/perkebunan leng kap dengan pembangunan jalan raya dan jalan kelas 1. Kaitannya dengan isu perbatasan di Kalbar, implementasi tata ruang ini seharusnya mampu meredam penggeseran pilar-pilar perba tasan di Camar Bulan.
Kedua, pembangunan ekonomi perbatasan dengan penetapan wi layah kecamatan difungsikan sebagai pusat pengembangan ekonomi regional dan nasional di perbatasan. Di lini I dalam, di wi layah kecamatan, dibangun balai-balai latihan kerja (BLK) guna mempersiapkan tenaga kerja dan SDM yang memadai. Untuk itu, pengembangan ekonomi kawasan perbatasan Kalbar sebetulnya sudah didukung program Sosek Malindo untuk perdagangan lintas batas.
Menyinggung Sosek Malindo/ Sosial Ekonomi Malaysia Indonesia (terbentuk sejak 23 Mei 1985) seharusnya sudah bisa menurunkan spin-over effect bagi kegiatan ekonomi di wilayah lainnya, seperti jasa transportasi, jasa boga, pemondokan, dan sebagainya yang secara tak langsung berhubungan dengan kawasan perbatasan utama, di lini I dalam. Di daerah Kalbar ini telah dibuka lahan-lahan bagi perkebunan sawit di mana banyak investor Malaysia berdatangan. Balai latih an kerja (BLK) yang ditempatkan di lini I dalam seharusnya sudah bisa menstimulasi lahirnya ekonomi jasa itu.
Ketiga, merujuk pada kesepakatan trilateral antara Indonesia-Malaysia-Filipina tentang Perjanjian Pertukaran Informasi dan Penciptaan Prosedur Komunikasi (2002), khususnya pasal 10 perihal penyelesaian sengketa bisa diselesaikan lewat konsultasi, negosiasi, diplomasi, tanpa merujuk pada pihak ketiga atau mahkamah internasional. Terkait dengan masalah perbatasan di Kalbar sesungguhnya bisa memanfaatkan jalur ini, paling tidak se bagai media pendekatan komunikasi berkelanjutan. Mengapa ti dak jalur ini dipakai buat mendukung mengatasi kegiatan ilegal seperti menggeser patok untuk menebang hutan Indonesia?
Keempat, badan nasional penge lolaan perbatasan (BNPP) telah diberi kepercayaan untuk membangun kawasan perbatasan. Karena itu, kerja maksimal dan kepercayaan penuh kita berikan ke BNPP yang tentunya didukung dengan serang kai an kerja sama yang sudah di bangun sebelumnya, baik di da lam internal Indonesia maupun antara Indonesia dengan Malay sia. BNPP bisa berfungsi sebagai social services provider bagi ma syarakat perbatasan, yang mung kin selama ini dimainkan oleh Malaysia.
Harapan
Berapa kali lagi kita harus menunggu isu perbatasan ini akan mereda, lalu untuk kesekian kalinya kita akan dikejutkan lagi dengan isu perbatasan lanjutan. Tiada berakhir jika kita tidak menuntaskan secara total-segera. Dan, pihak-pihak teknis lapangan yang bernegosiasi memang seharusnya bukan lagi berstatus sebagai panitia ad hoc.
Indonesia bisa saja memaksa Malaysia untuk meninjau kembali MoU perbatasan Indonesia-Malaysia 1978 yang memasukkan Tanjung Datu dalam wilayahnya. MoU ini memang belum menjadi satu perjanjian mengikat dan dimungkinkan untuk bisa ditinjau kembali. Namun, ini menjadi bukti keteledoran.
Dengan alasan, prosedur peng ukurannya tidak sesuai dengan kondisi geografi dan topografi di perbatasan yang ternyata datar dan seharusnya diukur berdasar garis lurus, bukan watershed (perbatasan alam). Yang bisa dilakukan adalah memaksa Malaysia untuk menyetujui status quo pada wilayah sengketa ini karena MoU ini memang belum diratifikasi oleh kedua pihak (oleh parlemen). Sementara itu, Indonesia harus secepatnya menin jau kembali perbatasan dan melakukan kegiatan berkelanjutan di wilayah perbatasan.